Kajian Rutin Smamda Kupas Lima Cara Emas Mendidik Anak Menurut Imam Al-Ghazali

Dr M. Solihin Fanani, Wakil Ketua PWM Jawa Timur, menyampaikan materi “Lima Cara Emas Mendidik Anak” dalam Kajian Rutin Guru dan Karyawan SMA Muhammadiyah 2 Surabaya. (Fakhrial E. Widodo)

SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Surabaya menyelenggarakan Kajian Rutin Guru dan Karyawan di Smamda Tower, Lantai 2, Sabtu (9/8). Acara yang mengangkat tema “Membangun Komitmen Berdasar Nilai-Nilai Al Islam dan Kemuhammadiyahan” ini diikuti oleh seluruh tenaga pendidik dan staf sekolah.

Kajian kali ini diisi oleh Dr M. Solihin Fanani MPSDM, seorang pendidik, mubaligh, dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Ia juga merupakan guru di SD Muhammadiyah 4 (Mudipat) Surabaya.

Dalam paparannya, Dr Solihin Fanani mengupas berbagai aspek penting dalam dunia pendidikan.

Ia menjelaskan bahwa kesuksesan pendidikan anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Keluarga berperan sebagai agen sosialisasi primer dengan kontribusi sebesar 60%, sementara lingkungan sekolah dan masyarakat sebagai agen sosialisasi sekunder, masing-masing menyumbang 20%.

Perspektif ini mengacu pada teori sosiologi yang menyebutkan keluarga sebagai institusi pertama yang memperkenalkan nilai, norma, dan moral. Tokoh sosiologi George Herbert Mead dikenal dengan teorinya tentang interaksionisme simbolik yang menjelaskan bahwa “diri” (self) seseorang terbentuk melalui interaksi sosial, dimulai dari lingkungan terdekat seperti keluarga.

“Orang yang sukses adalah orang yang selalu berpikir tentang cara, sedangkan orang yang gagal adalah orang yang selalu menyalahkan orang lain,” terangnya.

Ia mengajak para pendidik untuk bersikap proaktif dan mencari solusi dalam setiap tantangan.

Pada bagian pengasuhan anak, Dr Solihin Fanani mengutip “Lima Cara Emas Mendidik Anak” menurut Imam Al-Ghazali sebagai pedoman penting bagi para pendidik dan orang tua. Anak tidak dibiasakan mengonsumsi makanan yang serba lezat agar tidak menjadi manja. Mereka juga tidak dibiasakan tidur di tempat yang terlalu empuk supaya terbiasa dengan kedisiplinan.

Selain itu, anak tidak dibiasakan memakai pakaian yang terlalu bagus atau mewah agar tidak terbawa sifat konsumtif. Setiap permintaan anak tidak dipermudah agar mereka belajar bersabar dan bertanggung jawab.

“Terakhir, anak tidak dihukum di tempat umum supaya menjaga harga diri dan kehormatannya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Dr Solihin Fanani mengingatkan seluruh peserta kajian tentang “Muara Pendidikan Muhammadiyah”, yaitu tujuan akhir yang harus dicapai, yang meliputi empat pilar utama. Pertama, tilawah, yaitu membaca dan memahami Al-Qur’an. Kedua, tazkia, yakni penyucian jiwa atau pembentukan akhlak mulia, di mana akhlakul karimah yang paling tinggi adalah menjaga perasaan orang lain.

Ia juga menambahkan bahwa cara memberi sesuatu lebih berharga daripada sesuatu yang diberi. Ketiga, ta’lim, yaitu proses pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Keempat, tauhid, yakni penanaman keyakinan akan keesaan Allah SWT.

Di akhir sesi, suasana menjadi hangat dan penuh semangat. Salah satu peserta mengungkapkan pentingnya dedikasi seorang guru dengan guyonan bermakna, “Bekerja jadi guru di Smamda itu harus niat ikhlas lahir batin. Konsisten, istiqomah. Bukan istirahat!”

Pernyataan ini disambut tawa dan anggukan setuju oleh peserta lain, sekaligus menjadi pengingat bahwa profesi guru menuntut pengabdian tulus dan ketekunan tanpa kenal lelah, sesuai dengan prinsip istiqomah.

Dengan semangat kebersamaan dan komitmen kuat, kajian ini diharapkan menjadi motivasi bagi seluruh civitas akademika Smamda Surabaya untuk terus berkarya, meningkatkan kualitas diri, dan menjadi pendidik berkarakter, sejalan dengan visi misi Muhammadiyah dalam mencetak generasi penerus yang berakhlak mulia dan berilmu.

(Fakhrial E. Widodo/AS)

Author:

I Am the Admin