Ketika Siswa Lebih Tahu Filsafat daripada Gurunya

Kisah ini adalah pengalaman nyata yang terjadi pada Kamis, 28 November 2024.

Jam 13.50 selalu menjadi waktu yang saya nanti. Itu adalah momen ketika pelajaran “Geografi” di kelas 11.10 berakhir, dan saya bisa meluruskan punggung sejenak setelah mengajar. Namun, sore itu, rencana untuk segera istirahat buyar. Shofia, salah satu siswa yang dikenal kritis, mendekati saya dengan wajah serius.

Pertanyaan yang Menggelitik Logika

“Pak, saya mau tanya! Tapi pertanyaan saya ini karena saya kesal,” katanya tanpa basa-basi.

Dalam hati, saya hanya bisa menghela napas. Wah, ini bakal jadi diskusi panjang, pikir saya. Shofia Jasmine—begitu nama lengkapnya—memang bukan siswa dengan nilai akademik luar biasa. Nilainya selalu tipis di atas KKM. Namun, kalau soal membuat kepala guru berputar dengan pertanyaan kritis, dia juaranya.

“Silakan,” jawab saya, berusaha tenang meski sebenarnya deg-degan.

“Kenapa sih, Pak, ada teman-teman yang nggak setuju kalau kerja keras itu ada hubungannya sama kesuksesan?”

Kerja Keras: Antara Realitas dan Ekspektasi

Seketika, saya merasa lega. Topiknya terbilang “aman.” Namun, saya tahu, ini pasti belum puncaknya. Pertanyaan lanjutan Shofia biasanya lebih kompleks.

“Saya disclaimer dulu ya,” kata saya mencoba bijak. “Menurut saya, kerja keras itu bukan jaminan sukses. Tapi, kerja keras adalah tanda bahwa kita hidup.”

Mendengar jawaban itu, Shofia tampak terkejut. Dari sorot matanya, saya bisa menebak, dia berharap saya memvalidasi keyakinannya. Namun, realitas tak selalu sesuai ekspektasi, bukan?

“Lho kok bisa, Pak?” tanyanya penuh rasa penasaran.

“Begini,” lanjut saya. “Bekerja keras adalah kewajiban manusia. Hanya mereka yang hidup yang bisa bekerja keras. Tapi, apakah itu selalu berbuah kesuksesan? Menurut saya, tidak. Ada faktor lain seperti privilege, keberuntungan, atau hal-hal yang di luar kendali kita.”

Saya melanjutkan dengan sudut pandang yang mungkin tak populer. “Prinsip saya, kita harus idealis dalam cara bekerja, tapi realistis terhadap hasilnya. Dengan begitu, kita nggak gampang kecewa kalau hasilnya nggak sesuai harapan.”

Filsafat Absurdisme: Istilah Baru yang Menggugah

Shofia mengangguk-angguk pelan, sepertinya mulai memahami maksud saya. Tapi, seperti biasanya, diskusi dengannya tidak pernah selesai di satu pertanyaan.

“Pak, Bapak ini penganut filsafat absurdisme, ya?” tanyanya tiba-tiba.

Saya tertegun. Filsafat apa lagi ini? Saya bahkan belum pernah mendengar istilah itu sebelumnya. “Waduh, saya nggak paham istilah-istilah begituan. Saya cuma ngomong berdasarkan pengalaman saya,” jawab saya sambil tertawa kecil. Namun dalam hati, rasa penasaran saya langsung menyala.

“Pesan saya,” lanjut saya menutup pembicaraan, “Apapun hasilnya, jika kita sudah menurunkan ekspektasi, kita tetap akan bekerja keras dan menghargai nilai kerja keras itu. Jangan pernah mengendurkan semangat belajar dan bekerja keras, mau sukses atau tidak. Oh ya, makasih ya buat istilah barunya. Apa tadi?” saya balik bertanya.

“Absurdisme, Pak!” jawabnya tegas. Saya mengangguk puas, lalu beranjak keluar dari kelas.

Absurdisme dan Refleksi Sebagai Guru

Setelah jam sekolah selesai, pertanyaan Shofia itu terus terngiang di kepala saya. Dalam perjalanan pulang, saya membuka ponsel dan mulai mencari tahu apa itu filsafat absurdisme.

Ternyata, absurdisme adalah konsep yang mencoba memahami bagaimana manusia menghadapi absurditas hidup—ketidaksesuaian antara harapan dan realitas yang sering kali tidak masuk akal.

Pencarian saya membawa pada sebuah video YouTube yang membahas absurdisme melalui lagu Linkin Park berjudul In The End. Lagu itu, dengan lirik yang terkenal, “I tried so hard and got so far, but in the end, it doesn’t even matter,” ternyata memuat esensi absurdisme: meskipun usaha kita keras, dunia ini tidak selalu memberikan hasil sesuai yang kita inginkan.

Saya pun teringat penjelasan saya pada Shofia. Mungkin benar, tanpa sadar, saya telah menyampaikan ide-ide absurdisme, meskipun saya bukan penganut filsafat tertentu. Tapi bagi saya, absurd atau tidak, hidup harus tetap dijalani. Kerja keras tetap harus dilakukan, bukan demi sukses, melainkan demi menghormati kehidupan itu sendiri.

Pelajaran dari Pertanyaan Siswa

Diskusi itu menyadarkan saya bahwa guru bukanlah manusia yang selalu tahu segalanya. Sering kali, justru dari pertanyaan siswa, saya belajar hal-hal baru.

Jadi, mungkin Shofia bisa melihat ini sebagai bukti: kerja keras memang tidak selalu menjamin kesuksesan, tetapi siapa tahu—dengan banyak pertanyaan “absurd” seperti ini, dia akan sukses membuat gurunya jadi lebih pintar. (*)

Author:

I Am the Admin