Smada.net- Menjalankan ibadah puasa di negeri orang tentu menghadirkan tantangan dan pengalaman yang unik. Hal inilah yang dirasakan Naura Alyssa Azzahra Antory, siswi SMA Muhammadiyah 2 Surabaya, yang menjalani bulan Ramadan di Swiss tahun ini.
Naura, siswi kelas XI-1 tahun pelajaran 2023-2024, lolos seleksi program pertukaran pelajar AFS Bina Antarbudaya. Ia mendapat kesempatan belajar selama satu tahun di Swiss pada tahun pelajaran 2024-2025. Dengan durasi puasa mencapai 13–14 jam, Naura merasakan perbedaan signifikan dibandingkan saat berpuasa di Indonesia.
Ramadan di Swiss dimulai akhir Februari dan berakhir akhir Maret, bertepatan dengan masa peralihan dari musim dingin ke musim semi. Meskipun matahari mulai bersinar, suhu udara masih cukup dingin, terutama pada pagi dan malam hari. Menjelang akhir Maret, suhu di Canton Zürich sempat menghangat hingga 20 derajat Celcius, memberi kenyamanan tersendiri bagi Naura dalam menjalani puasa.
Menu Sahur dan Buka yang Berbeda
Untuk sahur, Naura memilih menu simpel dan praktis. “Kadang saya sudah siapkan nasi di malam hari, jadi paginya tinggal memanaskan lauk,” tuturnya. Ia berusaha agar menu sahurnya tetap menyerupai masakan rumah di Indonesia, lengkap dengan nasi dan lauk-pauk.
Berbeda dengan sahur, menu berbuka sangat bergantung pada hidangan dari keluarga angkatnya. Pasta, sayuran, dan wähe (sejenis quiche khas Swiss) menjadi menu yang kerap dihidangkan. Naura juga sempat memperkenalkan kuliner Indonesia kepada keluarga angkatnya dengan memasak nasi goreng sebagai menu makan malam bersama.
Tantangan Ibadah dan Toleransi yang Menyentuh
Naura tidak berkesempatan mengikuti salat tarawih berjamaah karena keterbatasan tempat ibadah. Mayoritas masjid di Swiss berukuran kecil dan lebih banyak diperuntukkan bagi laki-laki. Selain itu, masjid terdekat dari tempat tinggalnya berjarak hampir satu jam perjalanan.
Meski begitu, Naura sangat mengapresiasi toleransi masyarakat Swiss. “Mereka kagum saat tahu saya tidak minum air sama sekali saat puasa. Itu hal baru bagi mereka,” ujarnya. Keluarga angkatnya bahkan sering menyesuaikan jam makan malam dengan waktu berbuka Naura.
Teman-teman sekolahnya pun menunjukkan rasa hormat dan kekaguman. Mereka menganggap puasa tanpa makan dan minum hingga sore hari sebagai sesuatu yang luar biasa. Saat pelajaran olahraga, Naura mendapat kelonggaran untuk mengurangi aktivitas fisik. Bahkan, ada teman yang datang khusus ke lorong sekolah hanya untuk menyapa dan mengucapkan, “Selamat Bulan Ramadan”, yang menurutnya merupakan momen manis dan lucu.
Komunitas Muslim dan Makanan Favorit
Di Swiss, Naura aktif mengikuti kegiatan Verein Percikan Iman, komunitas Muslim yang ia nilai teratur dan inspiratif. Komunitas ini rutin menggelar pengajian dan silaturahmi bulanan. Salah satu momen besar yang diselenggarakan adalah perayaan Idul Fitri, yang dihadiri banyak warga Indonesia, termasuk dari Singapura dan Malaysia.
Naura juga menyukai makanan khas Swiss, terutama raclette. “Potongan keju khusus raclette dilelehkan di atas raclette grill dan disantap bersama kentang, jamur, atau bawang,” jelasnya. Dari berbagai varian, ia paling menyukai raclette pedas dengan serpihan cabai.
Ia melaksanakan salat Idul Fitri pada 30 Maret 2025 di Hallenstadion, Oerlikon, Zürich—tempat yang biasa digunakan untuk konser artis internasional seperti Sabrina Carpenter atau Bruno Mars. Tahun 2025 menjadi momen bersejarah karena untuk pertama kalinya salat Idul Fitri digelar di stadion megah tersebut.
Kisah Ramadan Naura di Swiss menjadi bukti bahwa perbedaan budaya dan geografi tidak menghalangi kekhusyukan beribadah. Justru, hal ini memperkaya pengalaman spiritual dengan nuansa toleransi dan kebersamaan yang hangat. (*)
Penulis Era