Sebelum Ramai KDM, Smamda Sudah Terapkan Program Disiplin Berbasis Karakter

Keterangan foto: Sesi Pembelajaran Kelas Kegiatan MD Smamda Surabaya Tahun 2024 lalu.

Oleh Muhammad Zarkasi
Guru Geografi SMA Muhammadiyah 2 Surabaya

Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), yang mengirim siswa bermasalah ke markas militer sempat ramai dibahas di media sosial. Surat Edaran No. 43/PK.03.04/Kesra jadi pemicu, dan banyak tokoh nasional ikut berkomentar. Bahkan Menko PMK, Cak Imin, sempat nyeletuk singkat, “Nggak perlu segitunya.”

Kami di SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Surabaya tidak dalam posisi mendukung atau menolak. Tapi jujur saja, ada rasa bangga terselip. Soalnya, program semacam ini sudah kami jalankan sejak lama. Namanya Manajemen Diri (MD). Dan ya, kami sempat iseng membecandai, jangan-jangan KDM terinspirasi dari MD—mirip kan singkatannya?

Kami paham, kontroversi seperti ini pasti muncul. Soalnya, pendekatan ala militer sering diasosiasikan dengan kekerasan, hukuman fisik, dan intimidasi. Banyak yang skeptis: “Apa iya anak-anak dibina dengan cara kayak gitu?” Ada juga yang khawatir anak malah trauma.

Tapi kalau mau jujur, niat KDM sebenarnya mulia: ingin anak-anak punya arah, disiplin, dan tanggung jawab. Cuma, ya, pelaksanaannya perlu matang, sistematis, dan manusiawi.

Kok Bisa Skeptis? Ya Wajar

Reaksi masyarakat bukan tanpa alasan. Dalam pendekatan psikoanalitik, masalah remaja seringkali berasal dari konflik batin, bukan semata karena lingkungan. Tapi lingkungan tetap punya peran besar, terutama keluarga dan sekolah. Kalau pendekatannya hanya keras dan tanpa empati, bisa-bisa luka lama makin dalam—bukan malah sembuh.

Masa remaja itu kompleks. Lagi galau-galaunya, nyari jati diri, pengen dianggap penting, tapi sering salah arah. Kita semua pernah ada di fase itu. Makanya banyak psikolog angkat suara soal kebijakan ini, karena pendekatan ekstrem bisa berdampak panjang kalau nggak hati-hati.

Kalau boleh menyoroti, mungkin kekeliruan KDM ada di dua hal: kurang sosialisasi dan terlalu buru-buru. Ini program besar, dampaknya luas, jadi harusnya dikomunikasikan ke publik lebih dulu. Sekolah, guru, dan orang tua pun semestinya diajak duduk bareng sebelum eksekusi.

Strategi ala Smamda

Program Manajemen Diri di Smamda bukan program dadakan. Di awal tahun ajaran, kami sudah menyosialisasikan nilai-nilai yang kami pegang: disiplin, tanggung jawab, ketepatan waktu, kerapian, komitmen ibadah, dan tentu larangan yang jelas seperti merokok, mencuri, atau berkelahi.

Yang bikin beda, kami nggak cuma menuntut. Kami memberi teladan. Guru dan staf juga ikut tunduk pada aturan. Nggak bisa menuntut siswa tepat waktu kalau gurunya saja sering telat, kan?

Kami juga melakukan asesmen perilaku siswa sepanjang tahun. Bukan cuma mengawasi, tapi juga mengingatkan dan membimbing. Anak-anak yang dinilai butuh pendampingan lebih, baru kami ajak ikut program pembinaan. Dan kami nggak sembarangan tunjuk—semuanya berdasarkan proses, bukan asumsi.

Orang tua kami libatkan sejak awal. Bahkan saat penutupan pelatihan, mereka kami undang hadir. Banyak momen haru terjadi di sana. Salah satu siswi kami tahun ini, misalnya, langsung memeluk ustadzahnya sambil menangis. Mungkin karena selama ini merasa nggak pernah benar-benar didengar.

Yang menarik, program ini justru banyak diminati siswa secara sukarela. Mereka ingin ikut karena tahu manfaatnya. Dan jangan bayangkan pembinaan ala militer di sini menyeramkan. Tegas, iya. Tapi tetap dengan empati dan kasih sayang.

Penutup

Kami tidak bilang cara kami yang paling benar. Tapi kami percaya, membina karakter anak nggak bisa cuma dengan aturan keras. Harus pakai pendekatan yang tulus, sistem yang matang, dan teladan dari para dewasa di sekitarnya.

Jadi, ketika KDM mulai menerapkan program serupa, kami menyambutnya dengan anggukan kecil—karena jauh sebelum itu, kami sudah lebih dulu melakukannya. Diam-diam, tapi konsisten.

Author:

I Am the Admin