Diskusi Minoritas Siswa Smamda Surabaya dengan Pelajar Asing

Smamda – Diskusi minoritas berlangsung antara siswa Smamda (SMA Muhammadiyah 2 Surabaya) dengan pelajar asing kembali di Bridge Conversation Student Exchange – Victorian Young Leaders: Global Youth Forum (GYF) – Post Forum melalui aplikasi Zoom pada Kamis (19/11/2021).

Agung menjelaskan, peserta kali ini ada yang berbeda. ”Ada perbedaan formasi siswa,” papar Agung. ”Ada 3 siswa baru yang menggantikan 3 siswa pada kegiatan lalu,” sambungnya.

Menurut Agung, pergantian siswa supaya memberi kesempatan siswa Smamda lainnya berkesempatan mengikuti event internasional seperti ini. Tetap harus lulus seleksi dulu.

8 siswa Smamda Surabaya itu Aisha Prastyanti Hapsari X MIPA 4, Zaky Amrul Hakim XI MIPA 4, Lucrecia Helene Bark X MIPA 4,  Sekar Wangi Laila N XI MIPA 4, Maleekha Najla Putri Fairuziffa X MIPA 4, Olivia Alika Balqis XI MIPA 3, Anindya Diany Putri XI MIPA 4 dan Myeisha Ayu C XI MIPA 1.

Masing-masing siswa mendapat pengalaman menarik dalam obrolan antar siswa dari berbagai negara itu.

Maleekha Najla menceritakan pukul 07.50 acara sudah dimulai. Ia dan peserta lain disambut oleh Chris Higgins, host acara tersebut. Chris menjelaskan tata cara dan etika selama acara berlangsung dan rangkaian kegiatan  pada acara post-forum ini.

Lalu mereka diberi whiteboard yang berisi beberapa assignment untuk diisi.Task pertama yaitu  Goal Setting. Tugasnya membuat 5 goals for the day berdasarkan keinginan untuk belajar yang mudah dicapai. Bertema 4c’s yaitu berpikir kritikal (critical thinking), berpikir kreatif (creative thinking), kolaborasi dan saling peduli terhadap satu sama lain (collaboration and care).

Remaja Bangladesh

Setelah itu diperkenalkan guest star acara yaitu Jahin Tavir, 2021 Young Canberran of the Year and Youth Advocate, warga Bangladesh yang tinggal di Australia. Ia menjelaskan masalah identitas yang dialami juga cara mengubah perbedaan menjadi kelebihan dan kesempatan.

Acknowledge who you are even with your diversity and accept yourself,” ucap Jahin. ”Ia menjelaskan menjadi minoritas sebuah fakta. Ada rintangan yang dialami seperti menghadapi rasisme dan diskriminasi.

Ia di-bully karena warna kulitnya. Kerap mengalami impostor syndrome yaitu ia berpikir apakah yang dilakukannya benar dan meragukan dirinya sendiri.  Apakah pendapatnya didengar oleh orang lain. Jahin lantas selalu berpikir positif. Dikatakan mental health sangat penting menghadapi diskriminasi itu.

Diskusi Kelompok

Setelah itu sesi Q and A. Beberapa pertanyaan dibuat oleh murid Victoria sebelumnya dan diberikan pada Jahin untuk dipilih. Jahin memilih beberapa pertanyaan. Pertama, bagaimana pengalaman pertamanya public speaking. Kedua, bagaimana perasaannya setelah itu.

Jahin menjelaskan, pertama kali public speaking merasa takut. Lalu ia berpikir daripada merasa seperti korban dan ketakutan, ia gunakan kesempatan public speaking untuk mengasah kemampuan.

Apabila ia tidak berkata apapun atau bertindak apapun maka kesempatan terlewatkan begitu saja. Tidak akan ada yang berubah. ”It’s not whose speaking but it was who was saying,” ucap Jahin.

Seorang murid Victoria bertanya apakah pendapat Jahin memiliki dampak bagi orang lain? Jahin menjawab, tidak dapat memaksakan kehendak orang untuk berpikir sama dengannya. Tapi dia menikmati selama menjadi Youth Advocate dapat berinteraksi dengan berbagai macam orang dan dapat saling bertukar pendapat.

Kemudian Chris menjelaskan, tugas berikutnya mengisi padlet yang berisi refleksi siswa mengenai apa yang terhubung dari kita berdasarkan presentasi Jahin. Para siswa diminta mengisi menggunakan struktur: saya merasa terhubung, apa yang saya temukan mengejutkan, satu hal yang saya pelajari, dan satu hal yang ingin saya ketahui lebih lanjut.

Para siswa diberi beberapa menit untuk mengisi padlet lalu dimasukkan ke beberapa Breakout rooms untuk mendiskusikan apa yang mereka pelajari dan dapatkan dari presentasi Jahin.

Mereka digabungkan dengan beberapa murid dari Australia untuk berdiskusi menggunakan struktur yang diberi Chris. Diskusi minoritas pun berlangsung gayeng. Untuk struktur yang pertama yaitu ”saya merasa terhubung dengan” beberapa murid menyampaikan pendapatnya, mereka merasa terhubung dengan kesulitan yang dialami Jahin yaitu imposter syndrome.

Sekar Wangi murid Smamda menyampaikan pendapatnya, kerap mengalami imposter syndrome dan mempertanyakan apakah suara yang ia miliki dapat berdampak atau penting.

Struktur kedua: apa yang mereka temukan mengejutkan. Beberapa siswa memberikan pendapatnya bahwa yang menurutnya mengejutkan adalah topik imposter syndrome yang dibawakan adalah sesuatu yang jarang didengar. Juga bagaimana Jahin mengatakan bagaimana kita berpenampilan atau bagaimana kita terlihat mendefinisikan bagaimana kita.

Setelah itu satu hal yang mereka pelajari adalah bagaimana mereka harus menggunakan kekurangan mereka sebagai kelebihan dan segala rintangan yang mereka miliki adalah kesempatan.

Struktur hal yang ingin kita ketahui lebih dari presentasi Jahin adalah beberapa murid mengemukakan pendapatnya ingin mengetahui bagaimana cara Jahin dapat mencapai apa yang ia dapatkan sekarang. Apa yang ia lakukan untuk menjadi Youth Advocate dan apa langkah pertama yang harus dilakukan.

Maleekha dari Smamda Surabaya mengemukakan pendapat tentang bagaimana caranya mengubah sebuah perbedaan yang ia miliki seperti perbedaan ras menjadi sebuah oportunitas dan menjadi sesuatu yang membuat kita menonjol. Setelah itu Olivia memberi kesimpulan diskusi minoritas pengalaman Jahin. (*)

Penulis Maleekha, Tanti  Editor Sugeng Purwanto

Author:

I Am the Admin