Hidup dalam sebuah komunitas memang bisa terasa sulit, namun juga bisa mudah, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Apalagi, dalam komunitas selalu ada keberagaman yang tidak mungkin seragam. Hal ini juga berlaku di lembaga pendidikan besar seperti SMA Muhammadiyah 2 Surabaya.
Awalnya, saya tidak merasa antusias mendengar tentang rencana Rapat Kerja (Raker) dan Synergy Building yang dijadwalkan pada 24–28 Januari 2025. Saya lebih menyukai perjalanan pribadi daripada bepergian bersama rombongan. Namun, setelah melalui tiga hari tersebut, pandangan saya berubah.
Ternyata, saya justru “jatuh cinta” pada kegiatan ini. Upaya untuk saling mengenal memang seharusnya dilakukan setiap saat, tetapi kegiatan yang berlangsung di Pulau Dewata ini memberikan kesempatan yang lebih intim untuk saling memahami satu sama lain, dibandingkan dengan hari-hari biasa yang penuh kesibukan.
Perasaan “jatuh cinta” ini membawa saya pada satu kesimpulan penting: kita membutuhkan waktu khusus untuk benar-benar mengenal rekan-rekan kita. Waktu yang bebas dari gangguan rutinitas sehari-hari atau interaksi dengan orang luar komunitas kita.


Kesadaran Kolektif, Kata Kunci Keberhasilan Komunitas
Dinamika yang dihadapi oleh SMA Muhammadiyah 2 Surabaya selama 50 tahun tentu tidak mudah. Menjadi lembaga pendidikan besar tidak berarti segala sesuatunya berjalan mulus. Tantangan semakin besar seiring bertambahnya usia lembaga. Namun, tantangan ini juga mengingatkan kita betapa pentingnya saling memahami, terutama di antara rekan-rekan seperjuangan.
Hal yang sama berlaku di komunitas mana pun. Seiring berjalannya waktu, generasi silih berganti, dan semakin besar sebuah komunitas, semakin banyak pula pandangan yang perlu disinergikan. Ini bukan hanya soal Smamda, tetapi juga berlaku untuk komunitas manusia pada umumnya.
Pakar sosiologi Prancis, Émile Durkheim (1858–1917), pernah menyatakan bahwa kehidupan komunitas harus ditopang oleh kesadaran kolektif. Tanpa itu, komunitas tidak akan berdiri kokoh, apalagi jika kepentingan individu lebih diutamakan daripada kepentingan bersama.
Namun, kesadaran kolektif tidak bisa terbentuk hanya melalui rutinitas kerja yang terbatas oleh ruang dan waktu. Momentum seperti Raker dan Synergy Building memberikan kesempatan yang efektif untuk menyamakan pandangan secara terbuka dan intim, tanpa sekat atau melihat status serta posisi.
Sebagai contoh, dalam kegiatan outbound di Smamda pada 26 Januari 2025, tidak ada pemisahan berdasarkan jabatan atau status. Semua berkumpul dalam permainan yang sama. Harapannya, ketika kembali ke Surabaya, semua bisa bekerja sesuai dengan posisi masing-masing, dengan sinergi yang terbangun secara otomatis melalui kesadaran kolektif ini.
Menyadari Kesalahan Individu
Kesadaran kolektif memang perlu dibangun bersama, namun menyadari kesalahan adalah tanggung jawab setiap individu. Kadang-kadang, ego pribadi mendorong seseorang untuk menyalahkan pihak lain, yang justru dapat merusak kesadaran kolektif yang telah terbentuk.
Perselisihan adalah hal yang wajar terjadi. Namun, yang lebih penting bukan terletak pada konfliknya, melainkan pada bagaimana kita menghadapinya setelahnya. Sebagai contoh, ketika tim kami kalah dalam sebuah permainan, kami tidak saling menyalahkan. Kekalahan tersebut justru menjadi momen refleksi, bahwa itu adalah hasil dari kesalahan-kesalahan kecil setiap individu.
Kesadaran atas kesalahan pribadi ini harus terus ditumbuhkan dalam lingkungan kerja. Seperti yang dikatakan oleh filsuf eksistensialisme Jean-Paul Sartre (1905–1980), setiap individu harus menyadari kesalahannya dan dampaknya terhadap orang lain. Namun, yang lebih penting adalah fokus pada introspeksi diri, bukan pada menyalahkan orang lain.
Harus Berlanjut di Dunia Nyata
Kesadaran yang muncul dari kegiatan ini harus terus dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran kolektif dan kemampuan untuk menyadari kesalahan pribadi tidak boleh hanya bersifat sementara atau terjadi dalam momen-momen khusus seperti Synergy Building.
Generasi akan terus berganti, namun persyarikatan, amal usaha, dan sekolah harus tetap abadi. Hasil dari kegiatan ini mungkin hanya dirasakan langsung oleh mereka yang terlibat, tetapi dalam jangka panjang, budaya kesadaran kolektif dan introspeksi diri bisa diwariskan sebagai budaya yang permanen, jika benar-benar diimplementasikan setelah kembali dari Pulau Dewata. (*)